Simulasi CAT – Berikut penjelasan terkait wacana pengangkatan PPPK menjadi PNS hingga berita tidak adanya pendaftaran CPNS 2026.
Isu pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) kembali mencuat di ruang publik. Perbincangan ini bermula dari munculnya wacana dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
Meski belum ada keputusan resmi, wacana tersebut menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, sebagian pihak menganggap langkah ini dapat mewujudkan kesetaraan hak dan kesejahteraan ASN, di sisi lain muncul kekhawatiran bahwa pengangkatan langsung tanpa seleksi baru dapat mencederai prinsip merit system.
1. Latar Belakang: Isu yang Tumbuh di Tengah Proses Penataan Honorer
Wacana pengangkatan PPPK menjadi PNS muncul bersamaan dengan tahap akhir penataan tenaga honorer yang masih berlangsung hingga akhir 2025. Pemerintah saat ini tengah fokus menuntaskan pengangkatan tenaga honorer menjadi PPPK Paruh Waktu dan Penuh Waktu, yang jumlahnya mencapai ratusan ribu orang di seluruh Indonesia.
Namun di tengah proses tersebut, isu “kenaikan status” PPPK menjadi PNS mulai ramai dibicarakan publik, terutama di media sosial dan forum pegawai. Bahkan, sejumlah masyarakat meluncurkan petisi penolakan di platform Change.org, menilai wacana tersebut berpotensi menimbulkan ketimpangan bagi pelamar CPNS umum yang harus melalui seleksi ketat setiap tahunnya.
Sumber wacana ini berasal dari pembahasan internal DPR RI yang menyebutkan adanya rencana penyesuaian status ASN sebagai bagian dari agenda besar reformasi birokrasi nasional.
2. Revisi UU ASN 2023: Kesetaraan Jadi Fokus Pembahasan
Revisi UU ASN menjadi pintu utama bagi kemungkinan perubahan status PPPK.
Dalam rancangan awal yang mulai dibahas di DPR, sejumlah anggota legislatif menyoroti kesenjangan hak dan kesejahteraan antara PPPK dan PNS.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Reni Astuti, menegaskan bahwa pembahasan revisi tersebut akan mengupas secara mendalam soal kesetaraan status, hak keuangan, dan jaminan sosial antara kedua jenis pegawai tersebut.
“Kalau memang pemerintah mampu, bukan tidak mungkin PPPK secara bertahap bisa diangkat menjadi PNS,” ujar Reni, dalam pernyataan yang dikutip dari TVR Parlemen (22 Oktober 2025).
Menurut Reni, secara substansi, baik PPPK maupun PNS adalah bagian dari Aparatur Sipil Negara yang sama-sama berperan mengabdi kepada negara. Namun, perbedaan hak karier dan kesejahteraan membuat sistem ASN saat ini belum sepenuhnya adil.
3. Kesenjangan Hak PPPK dan PNS: Fakta Lapangan
Kritik terhadap kesenjangan ini tidak datang tanpa alasan. Banyak PPPK, khususnya di sektor pendidikan dan kesehatan, mengaku masih mengalami ketimpangan kesejahteraan meski telah diangkat secara resmi.
Sebagai contoh, guru honorer yang kini berstatus PPPK memang telah menerima gaji sesuai standar pemerintah daerah, tetapi belum mendapatkan hak penuh seperti tunjangan keluarga, kenaikan pangkat otomatis, atau pensiun seperti PNS.
“Saya pernah menerima aspirasi dari guru yang sudah lama mengabdi. Setelah menjadi PPPK, mereka mendapatkan kebijakan kesejahteraan yang belum sama dengan PNS,” ungkap Reni.
Hal inilah yang membuat DPR menilai perlunya pembenahan regulasi agar tidak ada perbedaan hak mendasar di antara dua status ASN yang sama-sama bekerja di sektor publik.
4. DPR: Perlu Kajian Komprehensif Sebelum Pengangkatan
Meski terbuka terhadap kemungkinan pengangkatan PPPK menjadi PNS, DPR menegaskan bahwa kebijakan semacam itu tidak bisa dilakukan secara langsung tanpa kajian komprehensif.
“Berbagai pertimbangan nanti tentu kami akan mendengar dari para akademisi, pendidik, juga para PPPK sendiri,” kata Reni Astuti.
Ia menambahkan, pemerintah dan DPR harus memperhitungkan kemampuan fiskal negara, dampak hukum, dan konsistensi terhadap prinsip merit system, yaitu sistem rekrutmen berdasarkan kompetensi dan kinerja, bukan hanya masa kerja.
Selain itu, Reni juga mengajak masyarakat untuk memberikan masukan kepada Komisi II DPR RI yang akan menjadi garda depan dalam pembahasan revisi UU ASN 2023.
5. Komisi II DPR: Dorongan Kesetaraan Bukan Sekadar Status
Anggota Komisi II DPR RI, Azis Subekti, juga menegaskan bahwa tujuan utama revisi UU ASN bukan sekadar mengubah status, tetapi menciptakan kesetaraan hak.
Menurutnya, DPR menampung banyak laporan dari lapangan tentang ketimpangan antara PPPK dan PNS, khususnya bagi tenaga pendidikan dan kesehatan yang jumlahnya sangat besar.
“Kami mendengar perbedaan posisi PPPK guru dengan PNS. Kami ingin pemerintah mempelajari bagaimana dampaknya jika PPPK guru dan tenaga kesehatan diangkat menjadi PNS,” tutur Azis.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa revisi UU ASN 2023 akan menjadi forum penting untuk menguji berbagai skenario reformasi ASN, mulai dari kesetaraan tunjangan, karier, hingga peluang konversi status.
6. Tantangan Implementasi: Merit System dan Anggaran Negara
Jika benar terjadi, pengangkatan PPPK menjadi PNS tidak bisa dilakukan tanpa menabrak asas meritokrasi yang menjadi fondasi manajemen ASN modern.
Sistem merit mensyaratkan bahwa setiap pegawai negara harus melalui seleksi berbasis kompetensi, kinerja, dan kebutuhan jabatan.
Langkah pengangkatan langsung tanpa seleksi bisa berpotensi menciptakan preseden hukum dan sosial, terutama bagi jutaan pelamar CPNS umum yang setiap tahun berjuang melalui seleksi terbuka.
Selain itu, aspek anggaran negara juga menjadi tantangan utama.
Kenaikan status PPPK menjadi PNS akan berimplikasi langsung terhadap pembayaran gaji, tunjangan pensiun, dan jaminan sosial yang membutuhkan beban fiskal tambahan di APBN.
Sementara itu, pemerintah masih harus menuntaskan pembiayaan pengangkatan PPPK Paruh Waktu yang sedang berjalan di ratusan pemerintah daerah.
7. Prolegnas 2025: Revisi UU ASN Segera Dibahas
Revisi UU ASN secara resmi telah masuk ke dalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
DPR menargetkan pembahasannya dapat dimulai dalam paruh pertama tahun 2026 agar hasilnya bisa diterapkan pada tahun anggaran berikutnya.
Pembahasan ini akan melibatkan banyak pemangku kepentingan: akademisi, asosiasi guru dan tenaga kesehatan, organisasi birokrasi, dan perwakilan pemerintah daerah.
Tujuannya agar setiap keputusan yang diambil tidak hanya adil bagi ASN, tetapi juga berkelanjutan dari sisi keuangan dan tata kelola.
8. Dampak Wacana Ini terhadap Seleksi CPNS 2026
Wacana pengangkatan PPPK menjadi PNS juga memunculkan pertanyaan baru:
Apakah seleksi CPNS untuk umum akan tetap dibuka pada 2026?
Sejumlah analis kebijakan publik menilai bahwa jika pengangkatan PPPK dilakukan dalam jumlah besar, maka penerimaan CPNS baru bisa dikurangi atau ditunda.
Namun hingga kini, pemerintah belum mengeluarkan keputusan resmi mengenai jadwal seleksi CPNS 2026.
Kepala Biro Hukum dan Komunikasi Publik BKN, Wisudo Putro Nugroho, menjelaskan bahwa fokus pemerintah saat ini masih pada penyelesaian seleksi CASN tahun anggaran 2024 dan pengangkatan PPPK Paruh Waktu tahun 2025.
“Keputusan pembukaan seleksi CASN 2025 sejauh ini hanya untuk beberapa instansi tertentu seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Kejaksaan Agung, dan Badan Gizi Nasional. Ketiganya pun hanya membuka formasi PPPK, bukan PNS,” ujarnya.
Artinya, seleksi CPNS umum berskala nasional kemungkinan baru akan kembali digelar pada 2026, tergantung hasil pembahasan revisi UU ASN dan kesiapan fiskal pemerintah.
9. Peta Kebijakan ASN 2024–2026: Fokus pada Penyelesaian PPPK
Jika melihat peta kebijakan kepegawaian nasional, periode 2024–2026 menjadi masa transisi besar ASN Indonesia.
Pemerintah menargetkan seluruh tenaga honorer sudah memiliki status resmi paling lambat akhir 2025.
Sejak 2024, BKN telah menuntaskan pengangkatan CPNS dan PPPK Penuh Waktu di berbagai kementerian dan pemerintah daerah. Namun hingga Oktober 2025, tahapan pengangkatan PPPK Paruh Waktu masih terus berlangsung di banyak instansi.
Dengan beban administratif sebesar itu, pemerintah memilih untuk menunda pembukaan rekrutmen CPNS nasional agar seluruh proses penataan tenaga honorer dapat selesai terlebih dahulu.
10. Reaksi Publik dan Petisi Penolakan
Wacana pengangkatan PPPK menjadi PNS memicu reaksi beragam.
Sebagian mendukung atas dasar keadilan dan pengabdian panjang para tenaga honorer, sementara sebagian lain menilai langkah itu berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial.
Sebuah petisi berjudul “Tolak Pengangkatan PPPK Jadi PNS Tanpa Tes” yang beredar di platform Change.org mengumpulkan ribuan tanda tangan dalam waktu singkat.
Isi petisi tersebut menegaskan bahwa setiap ASN seharusnya direkrut berdasarkan kompetensi dan seleksi terbuka, bukan penunjukan otomatis.
Pihak pendukung wacana, sebaliknya, berargumen bahwa PPPK telah melalui proses seleksi ketat sebelumnya, dan sebagian besar merupakan tenaga yang sudah bertahun-tahun mengabdi di sektor publik.
Mereka menilai revisi UU ASN bisa menjadi bentuk pengakuan atas kontribusi panjang para PPPK.
11. Pandangan Akademisi dan Pengamat Kebijakan
Sejumlah pakar kebijakan publik menilai, revisi UU ASN adalah momentum penting untuk menata ulang sistem kepegawaian nasional.
Namun, mereka mengingatkan agar pemerintah tidak tergesa-gesa dalam membuat kebijakan populis yang justru bisa mengganggu stabilitas birokrasi.
Pengamat administrasi publik dari Universitas Indonesia menilai bahwa penyamaan status tanpa seleksi ulang bisa menimbulkan efek domino:
- Beban fiskal meningkat akibat tunjangan PNS yang lebih besar.
- Penurunan motivasi dan kompetisi di kalangan ASN.
- Potensi tumpang tindih antara jabatan fungsional dan struktural.
Sebaliknya, pengamat lain menilai kebijakan hybrid bisa menjadi jalan tengah, yaitu memberikan kesetaraan hak dan tunjangan bagi PPPK tanpa mengubah status kepegawaian mereka menjadi PNS.
Dengan begitu, kesejahteraan meningkat tanpa harus menabrak sistem rekrutmen merit.
12. Arah Kebijakan ke Depan: ASN Satu Data dan Kesetaraan Bertahap
Pemerintah dan DPR sama-sama sepakat bahwa masa depan ASN Indonesia harus berlandaskan kesetaraan dan profesionalisme.
Namun cara mencapainya masih dalam tahap perumusan.
Salah satu arah kebijakan yang mulai disiapkan adalah ASN Satu Data, yaitu sistem terpadu yang mengintegrasikan data PNS dan PPPK secara nasional.
Sistem ini akan memungkinkan pemerintah menilai kinerja, masa kerja, dan kebutuhan formasi ASN secara akurat — sehingga keputusan pengangkatan maupun promosi dapat berbasis data, bukan kebijakan politik.
Selain itu, pemerintah berencana memperluas tunjangan kinerja (tukin) dan jaminan sosial PPPK, agar kesenjangan kesejahteraan dengan PNS bisa berkurang tanpa harus mengubah status hukum.
13. Kesimpulan: Menata Ulang Keadilan ASN di Era Reformasi
Wacana pengangkatan PPPK menjadi PNS mencerminkan ketegangan klasik antara idealisme merit system dan realitas kesejahteraan aparatur.
Di satu sisi, tuntutan kesetaraan semakin kuat, namun di sisi lain prinsip profesionalisme birokrasi tidak boleh dikompromikan.
Revisi UU ASN 2025 akan menjadi momentum krusial untuk menentukan arah kebijakan:
Apakah Indonesia akan melangkah menuju ASN yang sepenuhnya setara dan fleksibel, atau tetap mempertahankan dua status berbeda dengan fungsi yang saling melengkapi?
Apa pun hasilnya nanti, satu hal pasti — reformasi ASN tidak hanya soal status, tetapi juga tentang bagaimana membangun birokrasi yang adil, efisien, dan berorientasi pada pelayanan publik.
Sumber: tirto.id
Jangan lupa untuk mengunjungi link-link berikut agar persiapan seleksi kalian lebih matang, ya!
