Simulasi CAT – Terdapat sebuah gelombang pengunduran diri PPPK paruh waktu di lombok tengah. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Fenomena mencolok terjadi di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Meski pemerintah daerah sedang mempersiapkan pengangkatan besar-besaran lebih dari 4.000 Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu pada tahun 2025, justru muncul kabar mengejutkan dari lapangan: puluhan tenaga PPPK paruh waktu yang sudah diangkat memutuskan mengundurkan diri, bahkan hanya beberapa bulan setelah mulai bekerja.
Kisah para pegawai yang memilih mundur ini membuka sisi lain dari proses penataan tenaga honorer—sebuah sisi yang jarang jadi sorotan publik: tentang tekanan kerja, ketidaksesuaian ekspektasi, beban tugas yang melampaui batas “paruh waktu”, serta pendapatan yang dianggap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Harapan Baru Honorer Lombok Tengah Berujung Kekecewaan
Di tengah antusiasme ribuan tenaga honorer yang menunggu kepastian status kepegawaian, Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah menetapkan kebijakan bahwa mereka yang tidak lulus seleksi PPPK Tahap 1 dan 2 tetap akan diangkat menjadi PPPK paruh waktu.
Sekretaris Daerah Lombok Tengah, H. Lalu Firman Wijaya, bahkan menegaskan:
“Proses pengangkatan langsung diusulkan. Tidak perlu tes ulang. Hanya melengkapi dokumen saja.”
Pernyataan ini memberikan kepastian bagi banyak tenaga honorer yang bertahun-tahun bekerja tanpa status jelas dan dengan penghasilan minimal. Namun di balik semangat besar ini, muncul problema baru: tuntutan kerja PPPK paruh waktu berbeda jauh dari ekspektasi awal.
Bukannya bekerja dengan jam terbatas sebagaimana definisi “paruh waktu”, banyak dari mereka justru menghadapi beban kerja layaknya pegawai penuh waktu.
Gelombang Pengunduran Diri: Mengapa Para PPPK Paruh Waktu Memilih Mundur?
Dari berbagai testimoni tenaga PPPK yang mengundurkan diri, terdapat pola keluhan yang serupa. Banyak dari mereka mengaku tidak mampu menanggung beban kerja yang meningkat secara drastis tanpa kompensasi yang memadai.
Keluhan yang kerap muncul antara lain:
1. Jam kerja hampir sama seperti pegawai full time
Beberapa pegawai mengaku harus hadir dan standby sepanjang hari untuk melayani masyarakat atau menyelesaikan tugas administrasi di sekolah maupun kantor.
2. Tugas pelayanan publik yang menuntut kesiapan tinggi
Pegawai lapangan, terutama yang bertugas di layanan administratif desa atau kelurahan, sering kali harus bekerja di luar jam kantor karena masyarakat membutuhkan mereka di waktu-waktu tertentu.
3. Administrasi berlapis dan target laporan yang ketat
Sektor pendidikan dan pelayanan umum melaporkan adanya tuntutan penyusunan laporan rutin yang memakan waktu, tenaga, dan kadang memerlukan keahlian tambahan.
4. Beban operasional ditanggung pribadi
Mulai dari biaya bensin, pulsa untuk koordinasi lapangan, hingga kebutuhan alat tulis atau transportasi, semuanya harus ditanggung sendiri. Hal ini menambah tekanan finansial.
5. Tidak ada tunjangan tambahan
Sebagian pegawai merasa bahwa definisi PPPK paruh waktu seolah tidak diikuti dengan kebijakan pendapatan yang layak. Gaji yang diterima tidak jauh berbeda dari ketika mereka masih menjadi honorer.
6. Penghasilan tidak mencukupi kebutuhan dasar
Beberapa pegawai mengaku bahwa pendapatan PPPK paruh waktu tidak mampu menutup biaya kebutuhan rumah tangga, biaya pendidikan anak, maupun kebutuhan dasar lainnya.
Gabungan persoalan ini membuat sejumlah PPPK paruh waktu merasa tidak memiliki pilihan selain mundur, meskipun mereka telah berjuang bertahun-tahun sebagai honorer dan menunggu kesempatan diangkat menjadi ASN.
Kontras Antara Kebijakan Pemerintah dan Realitas Pegawai
Pemerintah daerah menyatakan bahwa pengangkatan PPPK paruh waktu adalah solusi terbaik dalam penataan honorer. Pemkab juga menegaskan bahwa anggaran gaji telah dialokasikan dengan aman untuk membiayai lebih dari 4.000 PPPK paruh waktu yang akan diangkat.
Sekda Lombok Tengah menyatakan:
“Soal besaran gaji, tetap sama. Ini hanya perubahan status kepegawaian dari honorer menjadi PPPK paruh waktu.”
Namun, kalimat “tetap sama” itulah yang menjadi salah satu sumber masalah terbesar. Di lapangan, para PPPK yang sudah bekerja merasakan gap signifikan antara:
-
status baru yang menuntut tanggung jawab lebih besar
versus -
gaji lama yang tidak mengalami peningkatan berarti.
Banyak pegawai merasa beban kerja meningkat, tanggung jawab bertambah, tetapi pendapatan tetap stagnan seperti sebelum diangkat menjadi PPPK.
Testimoni Menggambarkan Masalah Serius: Beban Kerja Tidak Sesuai Status
Beberapa pegawai di sektor pendidikan mengaku sering menghadapi jadwal yang tidak terstruktur. Mereka harus mengajar, menyiapkan perangkat pembelajaran, mengisi administrasi kurikulum, hingga menghadiri rapat—jumlah tugas yang identik dengan guru penuh waktu.
Pegawai PPPK di sektor layanan publik juga menghadapi beban kerja yang sangat berat. Mereka mengaku harus turun ke lapangan hampir setiap hari tanpa adanya tunjangan transportasi atau uang operasional.
“Kami ini paruh waktu hanya dalam istilah, tapi kenyataannya bekerja hampir sama seperti full time,” ungkap salah satu pegawai yang mundur.
Ironisnya, istilah “paruh waktu” tampak tidak sesuai dengan realitas lapangan. Banyak pegawai menganggap status ini hanya mengubah label administratif, tanpa memperbaiki kesejahteraan maupun memperjelas hak-hak pekerja.
Masalah Utama: Beban Kerja vs Gaji Tidak Berimbang
Kebutuhan hidup tahun 2025 semakin meningkat karena inflasi dan biaya hidup yang terus bergerak naik. Dalam kondisi ini, penghasilan PPPK paruh waktu yang masih setara honorer dianggap jauh dari layak.
Ketidakseimbangan ini menimbulkan beberapa konsekuensi:
1. Tekanan psikologis meningkat
Pegawai merasa harus bekerja keras tanpa jaminan perlindungan memadai atau kompensasi yang sebanding.
2. Pengunduran diri menjadi pilihan terakhir
Bagi sebagian tenaga yang sudah tak mampu bertahan, mundur dianggap sebagai satu-satunya jalan untuk menjaga kesehatan fisik dan mental.
3. Pelayanan publik berpotensi terganggu
Turnover tinggi dapat mengganggu stabilitas pelayanan publik, terutama di sektor pendidikan dan layanan dasar masyarakat.
Rencana Pengangkatan Massal 4.000 PPPK Paruh Waktu: Peluang atau Masalah Baru?
Di satu sisi, rencana pemerintah daerah mengangkat lebih dari 4.000 PPPK paruh waktu di tahun 2025 merupakan angin segar bagi honorer yang telah lama berharap mendapat status ASN.
Namun di sisi lain, fenomena mundurnya puluhan pegawai yang sudah diangkat menjadi alarm bahwa:
kebijakan ini memiliki kelemahan mendasar yang perlu diperbaiki sebelum direalisasikan secara masif.
Jika beban kerja tetap tinggi tanpa kompensasi yang memadai, pengangkatan massal justru berpotensi menciptakan masalah baru:
- Tingkat turnover pegawai meningkat
- Instansi kesulitan menjaga stabilitas pelayanan
- Beban kerja kembali menumpuk pada pegawai yang tersisa
- Efektivitas program PPPK paruh waktu menjadi rendah
- Motivasi pegawai menurun karena gaji tidak sebanding dengan tugas
Dengan demikian, rencana besar Pemkab Lombok Tengah perlu disertai evaluasi menyeluruh terkait sistem kerja, kompensasi, serta kesejahteraan pegawai.
Di Mana Letak Ketidaksinkronan Kebijakan?
Inti masalah bukan terletak pada ketersediaan anggaran, sebab pemerintah daerah menegaskan anggaran gaji sudah dipersiapkan. Permasalahan utama justru terletak pada hal-hal berikut:
1. Standar gaji yang tidak mengikuti peningkatan beban kerja
Status berubah menjadi PPPK, tetapi gaji tetap seperti honorer.
2. Tidak ada tunjangan paruh waktu yang menjamin kelayakan pendapatan
Sementara kebutuhan hidup meningkat dari tahun ke tahun.
3. Tidak adanya batasan jam kerja yang jelas
Pegawai paruh waktu sering bekerja hampir sama dengan pegawai full time.
4. Minimnya perlindungan kerja
Banyak tugas lapangan memerlukan biaya operasional pribadi yang tidak ditanggung.
5. Kurangnya sosialisasi detail mengenai tugas dan hak PPPK paruh waktu
Banyak pegawai tidak memahami konsekuensi status baru sebelum menerima SK.
Pengunduran Diri sebagai Peringatan Dini: Kebijakan Harus Lebih Manusiawi
Puluhan PPPK paruh waktu yang mengundurkan diri bukan sekadar data statistik. Mereka adalah individu-individu yang pernah berjuang sebagai honorer selama bertahun-tahun, menunggu kesempatan, menerima kabar pengangkatan, namun akhirnya mundur karena beban hidup dan pekerjaan yang tidak seimbang.
Fenomena ini harus menjadi sinyal bagi pemerintah daerah untuk:
- merevisi standar beban kerja,
- menetapkan batas jam kerja yang realistis,
- memberi tunjangan operasional,
- memperbaiki komunikasi kebijakan,
- serta memastikan penyelarasan ekspektasi antara pemerintah dan pegawai.
Kesimpulan: Kebijakan Besar Memerlukan Pengelolaan yang Lebih Cermat
Program pengangkatan 4.000 lebih PPPK paruh waktu di Lombok Tengah sebenarnya merupakan langkah maju dalam penataan tenaga honorer. Namun gelombang pengunduran diri menunjukkan bahwa tanpa kebijakan yang manusiawi dan adil, reformasi ini dapat menciptakan tekanan baru alih-alih memberikan solusi.
Untuk memastikan keberhasilan kebijakan, pemerintah daerah perlu:
- mengkaji ulang standar beban kerja,
- meninjau layak tidaknya penghasilan saat ini,
- memberikan kompensasi tambahan,
- meningkatkan perlindungan kerja,
- dan mendengarkan aspirasi pegawai di lapangan.
Tanpa intervensi yang tepat, program yang sebenarnya baik bisa berubah menjadi beban, baik bagi instansi maupun para pegawai. Karena pada akhirnya, reformasi ASN tidak hanya soal status kepegawaian, tetapi juga memastikan bahwa setiap pegawai bekerja dalam kondisi yang layak dan manusiawi.
Jangan lupa untuk mengunjungi link-link berikut agar persiapan seleksi kalian lebih matang, ya!
