Simulasi CAT – DPR siap membahas aspirasi peralihan status PPPK ke PNS dalam Revisi UU ASN.
Gelombang Aspirasi dari Daerah: Antara Harapan dan Keterbatasan Anggaran
Isu mengenai peralihan status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) kembali mencuat dan menarik perhatian publik. Gelombang aspirasi ini menguat setelah muncul kabar bahwa salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan (Sulsel) berencana tidak memperpanjang masa kontrak sejumlah PPPK karena keterbatasan anggaran daerah.
Kondisi tersebut menimbulkan keresahan di kalangan PPPK, khususnya mereka yang telah mengabdi bertahun-tahun di sektor pendidikan dan kesehatan. Mereka khawatir, kebijakan pemda yang tidak memperpanjang kontrak bisa mengancam keberlangsungan karier serta kehidupan ekonomi mereka.
Aspirasi agar PPPK dapat beralih status menjadi PNS pun kembali digaungkan melalui berbagai forum, termasuk dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi II DPR RI. Para perwakilan tenaga PPPK dari berbagai daerah menyampaikan tuntutan yang berpusat pada tiga hal: perlindungan hukum, kepastian karier, dan jaminan kesejahteraan yang setara dengan PNS.
Komisi II DPR RI Respons Aspirasi PPPK
Menanggapi aspirasi tersebut, Komisi II DPR RI yang membidangi urusan kepegawaian dan reformasi birokrasi menyatakan kesiapannya untuk membahas isu peralihan status PPPK ke PNS dalam proses revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf Macan Effendi, menegaskan bahwa pihaknya terbuka untuk membahas pasal-pasal terkait peralihan status PPPK dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) ASN yang sedang disusun bersama pemerintah.
“Kami siap saja membahas pengalihan PPPK ke PNS di dalam RUU ASN yang saat ini tengah berjalan,” ujar Dede Yusuf dalam tayangan resmi YouTube DPR RI, dikutip Sabtu (25/10).
Pernyataan ini muncul sebagai tanggapan terhadap masukan dari Ikatan Pegawai Non-ASN (IPN) dan Forum Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (F-PPPK) Kabupaten Bogor, yang menjadi salah satu organisasi aktif memperjuangkan hak-hak PPPK di tingkat nasional.
Dalam forum tersebut, berbagai permasalahan yang dialami PPPK di lapangan diangkat ke permukaan — mulai dari tidak adanya perlindungan hukum yang kuat, ketidakjelasan jenjang karier, hingga rasa tidak aman karena kontrak kerja yang terbatas waktu.
Isu Perlindungan Hukum dan Hak Pensiun Jadi Sorotan
Salah satu tuntutan utama para PPPK adalah kepastian hukum dan jaminan pensiun, dua hal yang selama ini menjadi pembeda paling mencolok antara status PPPK dan PNS.
Banyak PPPK merasa posisi mereka masih “setengah hati”: sudah diakui sebagai bagian dari ASN, namun belum memperoleh hak-hak penuh sebagaimana PNS, terutama terkait jaminan hari tua, hak pensiun, dan kepastian karier jangka panjang.
Dalam forum RDPU tersebut, perwakilan PPPK menyampaikan aspirasi agar Komisi II DPR RI memasukkan pasal khusus dalam RUU ASN yang memungkinkan peralihan PPPK menjadi PNS tanpa melalui seleksi ulang, serta memastikan hak pensiun dan jaminan sosial diatur secara adil dan proporsional.
Mereka berpendapat, PPPK yang telah bertahun-tahun mengabdi dan lulus seleksi kompetitif seharusnya dianggap layak untuk mendapatkan status kepegawaian tetap tanpa harus mengulang seluruh proses dari awal.
DPR: Harus Ada Kesepakatan dengan Pemerintah
Meski menyambut baik aspirasi tersebut, Dede Yusuf menegaskan bahwa DPR tidak dapat memutuskan sepihak soal perubahan status PPPK menjadi PNS. Hal ini harus menjadi keputusan bersama antara DPR dan pemerintah, karena menyangkut implikasi anggaran, sistem kepegawaian, dan hukum administrasi negara.
“DPR tidak bisa sendiri membahasnya, harus bersama pemerintah juga,” ujar Dede.
Artinya, setiap usulan perubahan dalam RUU ASN terkait peralihan status PPPK ke PNS harus melalui pembahasan tripartit antara DPR, KemenPAN-RB, dan BKN, serta melibatkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk menghitung dampak fiskalnya.
Apresiasi dari Forum PPPK: Harapan agar Ada Langkah Nyata
Sekretaris Jenderal Forum Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (F-PPPK) Kabupaten Bogor, Deni Sukmajaya, menyampaikan apresiasi kepada Komisi II DPR RI atas sikap terbuka dan responsif terhadap aspirasi tenaga PPPK.
Ia menilai langkah DPR yang mendorong rekomendasi konkret kepada Kementerian PANRB merupakan sinyal positif bahwa perjuangan PPPK tidak akan berhenti di ruang dengar pendapat semata, tetapi bisa berlanjut ke ranah kebijakan.
Dalam rekomendasi tersebut, Komisi II DPR RI meminta agar KemenPAN-RB segera mengambil langkah-langkah strategis berikut:
- Berkoordinasi lintas instansi untuk menyatukan pandangan mengenai status dan perlindungan PPPK.
- Menindaklanjuti aspirasi yang disampaikan para PPPK di seluruh daerah, terutama terkait perpanjangan kontrak dan kepastian status kerja.
- Menyusun pengaturan yang menjamin kepastian karier, hak pensiun, jaminan sosial, serta perlindungan hukum bagi PPPK, khususnya bagi tenaga guru, tenaga kependidikan (tendik), dan tenaga kesehatan.
- Memastikan implementasi UU ASN dan UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) agar tidak ada tumpang tindih antara kewenangan pusat dan daerah dalam pembiayaan gaji PPPK.
Menurut Deni, rekomendasi tersebut menjadi tonggak penting dalam perjuangan hak-hak PPPK. Ia menambahkan, jika pembahasan RUU ASN masih membutuhkan waktu panjang, maka pemerintah seharusnya mengeluarkan peraturan pelaksana (RPP Manajemen PPPK) terlebih dahulu untuk menjamin hak-hak dasar PPPK, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan.
“Kalau pembahasan RUU ASN masih lama, maka RPP Manajemen bisa menjadi penyelamat PPPK guru, tenaga kependidikan, dan tenaga kesehatan agar mereka bisa memperoleh hak-haknya layaknya PNS,” jelasnya.
Latar Belakang: Ketimpangan Status dan Ketidakpastian Karier PPPK
Keresahan PPPK terkait status kepegawaiannya bukan hal baru. Sejak skema PPPK diperkenalkan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, posisi PPPK memang dirancang sebagai pegawai kontrak berbasis kinerja yang berbeda dari PNS yang berstatus tetap.
Walau secara hukum PPPK dan PNS sama-sama termasuk dalam rumpun ASN, namun PPPK tidak memiliki jaminan pensiun, dan masa kerjanya dibatasi oleh kontrak yang dapat diperpanjang atau tidak tergantung kebutuhan instansi.
Dalam praktiknya, hal ini sering menimbulkan ketidakpastian. Beberapa pemerintah daerah mengalami kesulitan memperpanjang kontrak PPPK karena beban belanja pegawai yang tinggi, sementara Transfer ke Daerah (TKD) dari pemerintah pusat semakin terbatas.
Kondisi inilah yang melatarbelakangi munculnya aspirasi agar status PPPK disetarakan dengan PNS, atau setidaknya diberikan jaminan karier yang lebih pasti dan perlindungan sosial yang memadai.
Perspektif Politik dan Ekonomi: Antara Realitas Fiskal dan Keadilan Sosial
Dari sisi politik, aspirasi pengalihan status PPPK menjadi PNS tidak bisa dilepaskan dari agenda revisi UU ASN yang tengah dibahas antara DPR dan pemerintah. DPR, melalui Komisi II, berupaya menampung seluruh aspirasi ASN dan tenaga non-ASN untuk memastikan bahwa regulasi baru ini lebih berpihak pada keadilan sosial.
Namun di sisi lain, pemerintah harus berhati-hati menimbang dampak fiskal dari perubahan status ini. Bila seluruh PPPK (yang kini jumlahnya mencapai lebih dari 1,6 juta orang) dialihkan menjadi PNS, maka konsekuensinya terhadap belanja pegawai nasional dan dana pensiun akan sangat besar.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa perubahan status massal tanpa seleksi bisa menimbulkan ketidakadilan bagi CPNS baru yang harus melalui proses rekrutmen ketat. Karena itu, pemerintah perlu mencari mekanisme transisi yang adil agar tidak menimbulkan konflik horizontal di antara ASN sendiri.
Peran UU HKPD dalam Pembiayaan PPPK
Salah satu aspek penting yang disorot dalam rapat Komisi II adalah sinkronisasi antara UU ASN dengan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
UU HKPD menegaskan bahwa belanja pegawai, termasuk untuk PPPK daerah, menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak daerah tidak mampu menanggung gaji PPPK penuh waktu karena keterbatasan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Oleh karena itu, DPR meminta agar pemerintah pusat memastikan distribusi anggaran lebih proporsional, terutama melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Transfer ke Daerah (TKD), agar tidak terjadi ketimpangan antarwilayah.
Potensi Solusi Jangka Pendek: RPP Manajemen ASN
Selain menunggu selesainya revisi UU ASN, sejumlah pihak menilai bahwa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Manajemen ASN dapat menjadi solusi jangka pendek untuk menjawab keresahan PPPK.
RPP ini diharapkan mengatur secara lebih rinci hak dan kewajiban PPPK, termasuk mekanisme perpanjangan kontrak otomatis bagi PPPK berprestasi, serta pemberian hak pensiun dan jaminan sosial dasar.
Dengan adanya RPP tersebut, pemerintah dapat memberikan kepastian hukum lebih cepat tanpa harus menunggu revisi undang-undang rampung di DPR, yang prosesnya bisa memakan waktu hingga tahun depan.
Suara dari Lapangan: PPPK di Persimpangan Jalan
Bagi sebagian besar PPPK, perjuangan ini bukan sekadar soal status administratif, melainkan menyangkut harga diri dan keadilan bagi mereka yang telah lama mengabdi.
Banyak guru, tenaga kesehatan, dan pegawai teknis daerah yang telah bertahun-tahun bekerja dengan loyalitas tinggi, namun tetap hidup dalam ketidakpastian. Mereka berharap, pemerintah tidak lagi melihat PPPK sebagai “pegawai sementara”, melainkan bagian integral dari birokrasi negara yang berperan penting dalam pelayanan publik.
“Kami bukan minta istimewa, kami hanya ingin diperlakukan adil. Kami sudah mengabdi lama dan mengikuti seleksi resmi. Kami layak mendapatkan status yang lebih pasti,” ujar salah satu PPPK peserta RDPU yang hadir mewakili forum guru.
Penutup: Harapan Baru bagi ASN Masa Depan
Diskursus tentang peralihan PPPK menjadi PNS menandai babak penting dalam perjalanan reformasi birokrasi Indonesia. Ia mengungkap realitas bahwa profesionalisme dan keadilan kepegawaian tidak bisa hanya diukur dari status kontrak, tetapi dari kontribusi nyata di lapangan.
Sikap terbuka Komisi II DPR RI untuk membahas isu ini menjadi sinyal positif bahwa suara PPPK mulai mendapatkan tempat di arena kebijakan publik.
Namun, perjuangan ini belum selesai. Semua akan bergantung pada keseriusan pemerintah dalam mengakomodasi aspirasi tersebut ke dalam revisi UU ASN atau peraturan turunannya.
Jika kebijakan ini bisa dirumuskan dengan bijak — menyeimbangkan kebutuhan fiskal negara dan hak kesejahteraan ASN — maka Indonesia dapat memiliki sistem kepegawaian yang lebih adil, transparan, dan berkelanjutan.
Aspirasi para PPPK bukan sekadar tuntutan, melainkan cermin dari semangat pengabdian ribuan ASN kontrak yang tetap bekerja dengan dedikasi tinggi di tengah keterbatasan. Dan kini, bola ada di tangan DPR dan pemerintah untuk menjawab harapan tersebut dengan tindakan nyata.
Jangan lupa untuk mengunjungi link-link berikut agar persiapan seleksi kalian lebih matang, ya!
