Simulasi CAT – Berikut informasi terkait anggaran Sekolah Kedinasan 2025 yang tak marsu porsi Mandatory Spending Pendidikan di APBN.
Isu mengenai perbandingan anggaran sekolah kedinasan dan pendidikan formal kembali menjadi sorotan publik. Hal ini dipicu oleh temuan bahwa dana yang dialokasikan untuk sekolah kedinasan jauh lebih besar dibandingkan anggaran untuk pendidikan formal mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga perguruan tinggi.
Perdebatan ini muncul setelah data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 menunjukkan adanya ketimpangan signifikan antara dua sektor pendidikan tersebut. Di satu sisi, pemerintah mengalokasikan dana besar untuk sekolah kedinasan yang mencetak calon Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun di sisi lain, alokasi untuk pendidikan formal yang menyentuh puluhan juta pelajar di seluruh Indonesia justru lebih kecil.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pun memberikan penjelasan resmi untuk merespons kritik tersebut. Menurutnya, anggaran sekolah kedinasan memang tidak berasal dari porsi 20 persen APBN yang wajib dialokasikan untuk pendidikan. Ia menegaskan bahwa secara regulasi, pos anggaran sekolah kedinasan memiliki klasifikasi tersendiri di luar anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2008.
“Mengenai anggaran pendidikan secara total, saya ingin sampaikan seperti dalam PP 48/2008, anggaran pendidikan kedinasan tidak termasuk ke dalam anggaran pendidikan,” ujar Sri Mulyani, Rabu (30/7/2025) dikutip dari Kompas.com.
Anggaran Pendidikan 2025: Sekolah Kedinasan Paling Besar
Berdasarkan data APBN 2025, total anggaran pendidikan nasional mencapai Rp297,2 triliun. Dari jumlah itu, justru anggaran terbesar dialokasikan untuk pendidikan kedinasan, yakni Rp104,5 triliun.
Jika dibandingkan, alokasi untuk pendidikan formal dari tingkat SD hingga perguruan tinggi hanya mencapai Rp91,2 triliun. Sementara itu, program strategis seperti Program Indonesia Pintar (PIP), riset pendidikan, serta pembangunan infrastruktur sekolah memperoleh alokasi Rp101,5 triliun.
Anggota Komisi XI DPR, Melchias Markus Mekeng, menilai angka ini sangat kontras. Menurutnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pemerintah memberi porsi anggaran yang lebih besar untuk sekolah kedinasan dibandingkan sektor pendidikan formal yang melayani jumlah pelajar jauh lebih banyak.
“Berdasarkan data APBN pendidikan tahun 2025, anggaran terbesar justru dialokasikan untuk pendidikan kedinasan sebesar Rp104,5 triliun. Angka ini melampaui alokasi pendidikan formal sebesar Rp91,2 triliun dan program strategis lain Rp101,5 triliun,” kata Mekeng dikutip dari laman resmi MPR, Selasa (29/7/2025).
Kesenjangan Anggaran Per Peserta Didik: Formal vs Kedinasan
Jika dihitung per peserta didik, perbedaannya sangat mencolok. Dari total anggaran pendidikan formal sebesar Rp91,2 triliun:
-
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah memperoleh Rp33,5 triliun.
-
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi memperoleh Rp57,7 triliun.
Dana tersebut harus melayani 62,07 juta siswa dan mahasiswa di seluruh Indonesia. Jika dibagi rata, setiap peserta didik hanya mendapatkan sekitar Rp1,4 juta per tahun.
Bandingkan dengan pendidikan kedinasan. Anggaran sebesar Rp104,5 triliun tersebut hanya diperuntukkan bagi sekitar 13.000 mahasiswa kedinasan. Artinya, setiap mahasiswa kedinasan mendapatkan alokasi dana lebih dari Rp8 miliar per tahun.
Perbedaan ini menurut Mekeng menjadi bukti bahwa pemerintah saat ini memprioritaskan sekolah kedinasan secara anggaran dibandingkan pendidikan formal.
Mengapa Sekolah Kedinasan Mendapat Anggaran Besar?
Sekolah kedinasan merupakan institusi pendidikan yang berada langsung di bawah kementerian atau lembaga negara, dengan tujuan utama mencetak calon ASN siap kerja. Contohnya antara lain:
-
PKN STAN di bawah Kementerian Keuangan
-
IPDN di bawah Kementerian Dalam Negeri
-
Poltekim dan Poltekip di bawah Kementerian Hukum dan HAM
-
Sekolah kedinasan Kementerian Perhubungan seperti STIP, API, dan lainnya
Mahasiswa sekolah kedinasan umumnya mendapatkan fasilitas penuh dari negara, mulai dari pendidikan gratis, asrama, konsumsi, hingga uang saku. Selain itu, mereka dijamin langsung menjadi ASN setelah lulus.
Kebutuhan anggaran yang besar ini sebagian digunakan untuk pembiayaan operasional pendidikan, fasilitas pelatihan berbasis praktik, penyediaan instruktur ahli, serta dukungan logistik lainnya. Namun, tingginya angka tersebut tetap memunculkan pertanyaan publik mengenai proporsionalitas dan pemerataan anggaran.
Pandangan DPR: Perlu Kajian Ulang
Mekeng menilai bahwa proporsi anggaran ini tidak seimbang, mengingat pendidikan formal melayani jumlah siswa yang sangat besar dan merupakan pondasi utama mencerdaskan bangsa.
“Ketimpangan ini perlu dikaji ulang agar kebijakan anggaran lebih proporsional. Kita perlu menjawab tantangan nyata seperti tingginya angka anak tidak sekolah dan kesenjangan akses pendidikan di daerah tertinggal,” ujarnya.
DPR mendorong pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan alokasi anggaran, sehingga dana pendidikan formal tidak tertinggal jauh dari sektor kedinasan. Mekeng juga mengingatkan bahwa pendidikan kedinasan idealnya tidak menggunakan porsi anggaran pendidikan 20 persen yang diatur oleh undang-undang.
Sri Mulyani: Anggaran Kedinasan Bukan dari 20% Pendidikan
Menanggapi kekhawatiran DPR, Sri Mulyani menjelaskan bahwa anggaran sekolah kedinasan memang tidak dihitung dalam porsi 20 persen anggaran pendidikan nasional yang bersumber dari APBN dan APBD. Hal ini sesuai dengan ketentuan PP 48/2008 yang mengatur bahwa anggaran pendidikan kedinasan memiliki kategori tersendiri.
Dengan kata lain, meskipun secara nominal terlihat lebih besar, anggaran kedinasan tidak mengurangi porsi yang dialokasikan untuk pendidikan formal. Namun, perdebatan muncul karena publik menilai bahwa secara total, porsi untuk kedinasan tetap lebih besar dibandingkan untuk pendidikan formal.
Tantangan Pendidikan Formal: Banyak PR yang Belum Terselesaikan
Meski pemerintah mengalokasikan Rp91,2 triliun untuk pendidikan formal, berbagai persoalan mendasar di sektor ini masih belum terselesaikan, seperti:
-
Tingginya angka anak putus sekolah
Banyak anak di daerah tertinggal tidak melanjutkan pendidikan karena faktor ekonomi, akses yang sulit, atau keterbatasan fasilitas. -
Kesenjangan kualitas pendidikan
Perbedaan kualitas pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan masih lebar, baik dari segi fasilitas, tenaga pengajar, maupun kurikulum. -
Fasilitas sekolah yang minim
Masih banyak sekolah yang kekurangan ruang kelas, laboratorium, perpustakaan, hingga sanitasi yang memadai. -
Rendahnya kesejahteraan guru honorer
Guru honorer di sekolah formal masih menghadapi masalah kesejahteraan dengan gaji yang jauh dari layak.
Kondisi ini membuat publik mempertanyakan mengapa pemerintah justru mengalokasikan dana jumbo untuk sekolah kedinasan yang hanya melayani segelintir orang, sementara masalah mendasar pendidikan formal masih menumpuk.
Pentingnya Keseimbangan Kebijakan Anggaran
Pemerintah memang memiliki alasan strategis untuk memperkuat sekolah kedinasan, salah satunya adalah mencetak SDM ASN yang berkualitas demi mendukung kinerja birokrasi negara. Namun, kebijakan ini harus diimbangi dengan perhatian yang sama besar terhadap pendidikan formal.
Pendidikan formal adalah fondasi utama pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Jika pendidikan dasar hingga menengah lemah, maka jumlah calon mahasiswa yang mampu bersaing masuk sekolah kedinasan atau perguruan tinggi unggulan juga akan terbatas.
Artinya, memperkuat pendidikan formal bukan hanya soal mencerdaskan generasi muda, tetapi juga menyiapkan talenta yang kelak bisa masuk dan berprestasi di berbagai sektor, termasuk di sekolah kedinasan.
Kesimpulan
Kontroversi alokasi anggaran pendidikan 2025 ini menunjukkan adanya ketimpangan signifikan antara dana untuk sekolah kedinasan dan pendidikan formal. Dengan dana Rp104,5 triliun untuk 13.000 mahasiswa kedinasan dan Rp91,2 triliun untuk 62 juta siswa pendidikan formal, kesenjangan ini memicu perdebatan tentang prioritas pemerintah.
Sri Mulyani menegaskan bahwa anggaran kedinasan tidak berasal dari porsi 20 persen APBN yang diwajibkan untuk pendidikan formal. Namun, DPR menilai tetap perlu ada kajian ulang agar kebijakan anggaran lebih adil dan merata, sehingga mampu menjawab tantangan besar di sektor pendidikan nasional.
Keseimbangan kebijakan menjadi kunci. Pemerintah memang perlu mencetak ASN unggul lewat sekolah kedinasan, tetapi tidak boleh melupakan bahwa pendidikan formal adalah akar dari semua proses pembentukan SDM berkualitas. Tanpa penguatan pendidikan dasar dan menengah, bonus demografi yang dimiliki Indonesia bisa terbuang sia-sia.
Jangan lupa untuk mengunjungi link-link berikut agar persiapan seleksi kalian lebih matang, ya!